Seorang
wali besar yang meras dirinya begitu dekat dengan Allah, Ibrahim Al Khowasi, pada
suatu hari sedang melakukan safar, perjalanan untuk mendalami makrifat dan
hakikat. Ia telah menempuh gunung demi gunung, hujan dan panas, sampai akhirnya
ia kehausan ditengah-tengah suatu padang tandus. Matahari amat terik menyengat
sekujur tubuhnya sehingga zat cair di dalam jasadnya bagaikan diperas habis.
Pada waktu dahaganya kian memunccak
dan bibirnya sedah pecah-pecah, dengan mata yang kunang-kunang Ibrahim Al
Khowasi melihat di atas sebuah bukit kecil ada sebatang pohon delima,
satu-satunya pohon buah di antara semak-semak gurun yang berduri.
Terseret-seret langkahnya tatkala ia bergegas-gegas menuju ke bukit itu. Beruntung dia, di pohon tersebut terdapat sebutir buah delima, kecil tetapi kuning ranum kemerah-merahan. Tanpa berpikir panjang lagi, Ibrahim Al Khowasi dengan gembira memetik buah itu dan segera memecahnya, lantas memasukkannya ke dalam mulut. Ia sudah membayangkan sebelumnya, betapa nikmat dan segar rasanya apabila di tengah panas seterik itu memakan delima yang matang.
Ternyata yang dibayangkan
tidakseperti yang dialaminya. Buah delima itu rasanya hambar dan pahit sampai
ia memuntahkannya buru-buru, karena di mulutnya bahkan terasa getir dan gatal.
Kemudian ia meneruskan perjalanan.
Hari telah rembang petang ketika ia tiba di sebuah daerah yang subur dan penuh
ditumbuhi bunga-bungaan yang sedangberkembang serta menyebarkan bau harum.
Ketika ia akan beristirahat,
tiba-tiba terdengar suara tua mengerang-erang kesakitan di balik rumpun
bunga-bungaan yang rimbun. Ibrahim cepat-cepat mendatangi tempat itu dengan
maksud hendak memberikan pertolongan seandainya diperlukan.
Di situ ia menampak seorang kakek
yang terbaring tanpa daya dengan tubuh bengkak-bengkak bekas disengat lebah
berbisa. Ibrahim berjongkok mau menolong kakek itu, namu si kakek keburu
bangkit, lantas duduk seraya berkata, “Apa kabar, Ibrahim Al Khowasi?”
Wali besar ini kaget. Ia bertanya,
“Siapakah Tuan? Di mana tuan mengenal saya, dan kapan kita pernah berjumpa.”
Kakek tadi menjawab dengan angkuh,
“Wahai, Ibrahim, mengapa heran? Aku ini orang yang dekat dengan Allah. Aku
tidak perlu bertemu dulu untuk mengenal dirimu dan mengetahui apa tujuan
kepergiamu.”
Ibrahim tersinggung. Sombong betul
kakek ini. Maka ia menjawab, “Hai, orang tua, alangkah angkuhnya sikapmu.
Engkau mengaku dekat dengan Allah, tetapi badanmu penuh dengan berbisa. Kalau
memang engkau dekat dengan Allah, bukankah seharusnya, tatkala lebah-lebah itu
hendak menyerang tubuhmu, engkau bisa memohon kepada Allah agar elindungimudari
serbuan binatang-binatang kecil itu?”
Kakek tersebut tersenyum dan
menyahut, “Ternyata engkau masih picik, Ibrahim. Aku tahu engkau pun menganggap
dirimu telah dekat dengan Allah. Namun mengapa ketika tanganmu terangkat ke atas akan memetik buah delima yang engkau
tidak tahu siapa pemiliknya dan engkau belum meminta izin kepadanya, engkau
tidak memohon agar Allah melindungimu dari perbuatan curang seperti itu?
Ibrahim, sakitku ini akibat disengat lebah, hanyalah sakit badan kasar yang
akan sembuh kembali, diobat atau pun tidak. Tetapi penyakitmu yang masih mudah
tergiur oleh hawa nafsu adalah penyakit dalam, penyakit hati, yang akan terus
mengeram dan menyebar menjadi benih-benih maksiat sepanjang hidupmu apabila
engkau tidak segera bertobat dengan taubatan nasuha. Karena itu
pulanglah engkau ke negerimu, renungkanlah dosamu, obatilah penyakit hatimu
sebelum engkau hendak mengobati orang lain. Banyaklah berdzikir, mengingat Allah,
di samping beramal menyebarkan manfaat dan kebaikan kepada masyarakat
sekelilingmu, kepada alam sekitarmu tempat engkau dibangkitkan Tuhan untuk
menjadi khalifah, pemelihara amanat Tuhan ini.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar