Rabu, Mei 15, 2013

Penyesalan Karena Buruk Sangka


Malam itu gerimis turun. Angin pun bertiup sangat dingin. Tapi kedua suami-isteri yang tinggal di sebuah rumah kecil itu bersikeras hendak keluar juga. Karena ibu suami itu dalam keadaan sakit payah, mungkin tinggal menunggu waktu saja. Hanya yang sangat merisaukan hati mereka, bagaimana dengan si Harun, anak mereka yang baru berumur empat bulan. Kalau diajak pergi, takut terserang angin dan gerimis, bisa jatuh sakit.
“Bagaimana, Aminah, kita bawa saja Harun?” tanya yang lelaki.
“Jangan Bang, anginnya jahat,” cegah bininya.
“Habis, siapa yang akan menjaganya di rumah? Apa akan kita tinggalkan sendirian? Aku tidak tega, rumah kita terlalu dekat dengan kuburan. Barangkali . . . .”


“Ah, Bang, jangan berpikir yang bukan-bukan.” Sanggah isterinya yang cantik dan manja itu. “Kan ada Hurairah di rumah. Dia saja kita suruh menjaga Harun.”
“Betul, Aminah. Kenapa aku tidak ingat pada si Hurairah?” balas suaminya dengan gembira.
“Meong . . . ,” teriaknya kemudian. Terdengar suara gedubrak dari lumbung. Lalu langkah-langkah kecil mendekat dengan cepat. Muncullah Hurairah, seekor kucing yang ramping dan gesit. Bulunya putih mulus, rambut kepalanya hitam mengkilat. Dalam cahaya remang-remang di rumah itu, mata hurairah bersinar-sinar dengan indahnya. Maka itu sudah sering meruntuhkan tikus-tikus yang merusak simpanan bahan makanan majikannya.
“Malam ini kau tidak usah menjaga lumbung,” kata bapak si Harun. “Kami mau pergi berdua. Jagalah Harun baik-baik, agar jangan terbangun.”
         
        Kucing yang cantik itu mengeong sambil mengibas-ngibas ekornya. Kalau bisa berkataa dia akan menjawab, “Jangan kuatir, Tuan, saya akan tunggui Harun supaya tidur dengan lelap. Tak kan saya izinkan seekor nyamuk pun hinggap di tubuhnya.”

            Setelah berpesan begitu, maka bapak dan ibu Harun pun berangkat dengan aman. Mereka tahu bahwa Hurairah akan melakukan kewajibannya dengan baik, sebab dia adalah seekor kucing yang sangat setia kepada tuannya.

            Begitu melihat majikannya sudah pergi, Hurairah dengan cekatan dan diam-diam melompat ke tempat tidur. Ia mendekam di sebelah si Harun yan tengah mendengkur dengan nyenyak. Ekornya dikibas-kibaskan agar tidak ada seekor serangga pun yang berani mengganggunya. Matanya dengan tajam mengawasi sekelilingnya, sedangkan kedua kaki depannya siap mencakarkan kuku-kukunya kepada siapa saja yang berniat mengusik ketenangan majikannya.

            Menjelang jam sepuluh malam, tiba-tiba kucing itu mendengar bunyi mendesis dari kolong tempat tidur. Cepat Hurairah menggeram, siap menghadapi segala kemungkinan. Matanya tiba-tiba terbelik kaget dan marah ketika muncul sebuah moncong ternganga, dengan taring dan lidah yang menjulu-julur. Moncong seekor ular besar yang bermaksud menerkam Harun yang masih orok itu. Dengan sigap Hurairah melompat, giginyamenghujam ke leber ular tersebut, dan cakarnya menyerang dengan buas. Ular itu murka karena niatnya dihalang-halangi oleh makhluk lain. Matanya merah seperti besi terbakar. Dia balas menyerang dengan hebat. Badan si Hurairah dililit dengan ketat, sambil mulutnya mematuk-matuk muka kucing itu. Hurairah hampir kehabisan tenaga karena lilitan ular besar itu, sementra mukanya pun sudah berlumuran darah. Namun ia tidak mau binasa sebelum dapat membunuh ular tersebut. Dengan segala kemampuan dan kesakitannya ia akan berusaha menyelamatkan nyawa anak tersayang kedua majikannya. Ia berhasil melepaskan diri, lalu dengan cepat mernerkam leher ular itu. Digigitnya batang leher makhluk jahat tersebut sekuat tenaga sehingga akhirnya matilah musuhnya.

            Begitu dilihatnya binatang pengganggu itu seudah tergolek kaku, barulah Hurairah dengan sisa-sisa tenaganya naik lagi ke pembaringan, mendekam di samping si Harun. Anak kecil itu masih tetap tidur dengan lelap. Hurairah menjilat-jilat lukanya, sementara perih dan capek menyengat sekujur badannya. Mulutnya masih penuh dengan darah ular tadi, sedangkan pada mukanya bertebaran luka-luka yang menganga.

            Belum pulih kembali tenaganya, kedengaran suara majikannya di halaman rumah. Hurairah dengan gerakan yang loyo turun dari tempat tidur. Pelan-pelan ia berjalan menuju ke pintu, menyambut kedatangan kedua tuannya yang sangat dicintainya. Dilihatnya ibu Harun berjalan menunduk sambil terisak-isak. Bapaknya juga tampak sangat murung. Hurairah amat iba melihatnya.

            Mereka berbimbingan tangan memasuki halaman rumah. Ketika mereka tiba di depan pintu, Hurairah berbunyi lirih: “Ngeong, . . . , ngeong . . . ,” seraya terhuyung-huyung mendekati majikannya.

            Sekonyong-konyong ibu Harun menjerit, “Bang . . . ! Harun, Bang . . . !”

            Suaminya terperanjat tapi tidak mengerti, “Mengapa Harun, Minah . . . ?”
“Lihat si Hurairah. Mulutnya berlumuran darah. Pasti anak kita telah diterkam dan dibunuhnya. Oh, Harun . . ., anak kita, Bang. Bunuh Hurairah, Bang! Ia telah memakan anak kita.”

            Si laki-laki baru tahu sekarang apa maksud istrinya. Betul! Mulut Hurairah penuh dengan darah segar, pasti Harun telah diterkamnya. Tanpa berpikir panjang lagi, laki-laki itu mengambil palang besi. Dengan murka dipukulnya benda keras itu ke tubuh si Hurairah. Kucing itu menjerit, “Ngeong . . . !” Laki-laki itu tambah marah. Dia mengambil sebuah batu, ditimpakannya ke kepala Hurairah. Berhamburan darah dari kepala binatang kecil yang tidak berdosa itu. Badannya terkejang-kejang. Dari matanya yang jernih menetes air mata satu-satu. Setelah mengeong buat penghabisan kalinya, kucing yang cantik itu pun menghembuskan napas yang terakhir.

            Melihat korban sudah mati, bapak dan ibu Harun buru-buru masuk kamar. Alangkah kagetnya mereka begitu melihat suasana kamar itu. Yang tampak pertama kali di depan pintu adalah bangkai seekor ular besar yang hampir putus lehernya. Maka dengan hati berdebar-debar mereka berlari ke tempat tidur. Harun sedang tidur disana dengan aman.

            Barulah mereka bisa menebak, apa yang telah terjadi selama mereka pergi. Bukan Hurairah yang bersalah. Bahkan kucing itu telah berjuang mati-matian. Seketika pucatlah wajah mereka, bagaikan langit tengah hari. Mereka menyesal berkepanjangan. Ternyata Hurairah adalah kucing yang tetap setia. Dia tidak mempedulikan keselamatan dirinya asalkan tugas yang dipercayakan kepadanya tertunaikan. Kalau perlu diri sendiri menjadi korban untuk menyelamatkan nyawa majikan kecilnya. Namun balasan yang diterimanya bukan belaian sayang tanda terima kasih, bahkan nyawanya dihabisi dengan kejam.


            Suami-isteri itu menangis tersedu-sedu. Bangkai Hurairah diangkat dan diciumi, tapi yang sudah terjadi tak kan terbalik lagi. Dan sesal mereka sia-sia belaka karena sesal itu tak kan menghidupkan yang sudah mati. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar